Selasa, 01 April 2014

Kulitnya hitam. Wajahnya jelek. Usianya tua. Waktu pertama kali masuk ke rumah wanita itu hampir saja ia percaya kalau ia berada di rumah hantu. Lelaki kaya dan tampan itu sejenak ragu kembali. Sanggupkah ia menjalani keputusannya? Tapi ia segera kembali pada tekadnya. Ia sudah memutuskan untuk menikah dan mencintai perempuan itu. Apapun resikonya.

Suatu saat perempuan itu berkata padanya, " ini emas-emasku yang sudah lama kutabung pakailah ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa aku pernah menikah dan menjadi seorang istri." Tapi lelaki itu malah menjawab," Aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi."

Semua orang terheran-heran. Keluarga itu tetap utuh sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka kemudian dikaruniai anak-anak dengan kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian orang-orang menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki itu menjawab enteng," Aku memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku bahkan tak pernah merasakan kekurangannya dalam kesadaranku. Yang kurasakan adalah kenyamanan jiwa yang melupakan aku pada fisik."

Begitulah cinta ketika ia terurai jadi laku. Ukuran integritas cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati ….terkembang dalam kata….terurai dalam laku…. Seperti lelaki itu, yang terus membahagiakan istrinya, begitu ia memutuskan untuk mencintainya. Dan istrinya, yang terus menerus melahirkan kebaikan dari cinta tanpa henti. Cinta yang terurai jadi laku adalah jawaban atas angka-angka perceraian yang semakin menganga lebar dalam masyarakat kita.

Tak mudah memang menemukan cinta yang ini. Tapi harus begitulah cinta, seperti kata imam syafi'i :
"Kalau sudah ada cinta di sisimu
Semua kan jadi enteng
Dan semua yang ada diatas tanah
Hanyalah tanah jua"

Atau seperti kata Sapardi:
" Aku ingin mencintaimu
Secara sederhana
Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
Secara sederhana
Seperti awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"






Sungguh beruntunglah mereka… sungguh beruntunglah… Beruntunglah mereka yang apabila kita membersamainya, membuat kita ingat kepada Allah…


Tapi sahabat, bukan berarti begini. Bukan berarti ketika kita naik angkot, lalu Sang Nakhoda, eeh… Sang Supir maksudnya, melarikan itu andong…ehh… angkot dengan kecepatan 180 km per jam, lalu membuat kita langsung beristighfar dan langsung ingat mati, langsung ingat Allah, dan langsung ingat bahwa amal-amal kita masih sedikit. Hehe. Bukan…bukan yang seperti ini yang kumaksudkan.

Tapi, orang-orang yang ketika kita bersamanya, jangankan mendengarkan kalimatnya saja, cukup memandangi wajahnya, telah menyejukkan hati kita dan membuat kita ingat kepada Allah, dan membuat kita ingin melakukan kebajikan karenanya. Masya Allah. Sungguh luar biasa mereka itu. Sungguh luar biasa, mereka yang memiliki ruh-ruh yang baik itu.
Pernahkah kau rasakan? Mungkin pernah. Ada kalanya, ketika kita berjumpa dengan seseorang, lalu, yang kita rasakan hanyalah sekedar mimpi-mimpi dunia belaka. Atau, bahkan hanya ngalor-ngidul saja. Hanya canda-canda saja. (Astaghfirullaah…astaghfirullaah…barangkali kita—terutama diriku—adalah pelakunya).

Namun, ada kalanya, ketika berjumpa dengan seseorang, yang kita rasakan justru pancaran kebaikan. Mungkin ia tak banyak berkata-kata. Tapi, sedikit nasihatnya saja, sudah membuat kita ingin berlama-lama dengan kebajikan. Karena mereka berbicara birruh… dengan ruh, dengan bukti nyata amal perbuatannya. Tidak sekedar kata. Sungguh, beruntunglah mereka itu.

Memang, ruh, iman, adalah sesuatu yang 'yazid wa yanqus'. Ada kalanya naik, ada kalanya turun. Dan, sungguh adalah suatu yang absurb jika seseorang terus berada di puncak grafik keimanan, selalu. Bukankah sudah fitrahnya begitu? Bahkan, kata seorang ustadz, “Tidak masalah jika kita ‘kehilangan’ hafalan, karena dengan demikian, kita akan berusaha untuk menjemput dan kembali menjemputnya. Dengan demikian, ia akan menjadi salah satu ceruk amalan bagi kita. Ia yang akan menjadi pendapar bagi ruhiyah kita.” Bukan berarti ini membenarkan atas ‘kehilangan’ itu. Tapi, ini menyoal kontinutas barang kali.
Maka, sungguh, berkumpul dengan ruh-ruh shalih itulah yang kemudian menjadi salah satu ‘obat hati’ bagi kita. Orang-orang yang dengan melihatnya, akan mengingatkan kita kepada Allah. Ruh itu, akan senantiasa mempengaruhi, satu sama lainnya.
Jika memang demikian, tidaklah salah, jika kesendirian (tanpa jama’ah) atau memisahkan diri dari jama’ah akan lebih cepat mengoksidasi iman. Akan lebih cepat membuat kita menurun ke lembah ter-kritis grafik sinus keimanan. Karena, ruh-ruh itu saling mempengaruhi.

Dahulu, dalam sebuah diskusi pernah dipertanyakan, “Eih, buat apa siih, ngumpul-ngumpul begitu? Bikin halaqoh—bikin lingkaran—begitu? Apalagi, kapasitas Sang Pembicaranya tidak selalu dari latar keagamaan yang jelas-jelas kafa’ah ilmunya bukan fiqh, ‘aqidah, hadits, apa pun itu?” Maka, jawabannya ada pada ruh-ruh yang saling mempengaruhi. Bahkan—seperti yang sudah kita singgung tadi—jangankan bicara, berkumpul saja, menatap wajah saja, sudah memberikan charger energy ruhiyah buat diri kita. Dan, jika hanya mengandalkan ilmu dari pertemuan yang singkat dengan kelompok-kelompok kecil saja, barang kali kita sudah salah persepsi. Karena, toh, sarananya bukan hanya ada kelompok itu saja. Masi tersedia sarana-sarana lain yang memang diisi oleh orang-orang yang berkafa’ah di bidangnya. Iya kan?
Jadi, sungguh…berkumpul dengan orang-orang shalih itu, akan mendatangkan obat hati bagi kita. Maka, berkumpullah… dengan mereka… dengan ruh-ruh penuh kebaikan.
Suatu saat beberapa sahabat bertanya, "Karib seperti apa yang baik untuk kami?" Rasulullah saw menjawab, "Yakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengingatkan kalian kepada Allah." (Riwayat Abu Ya’la, dihasankan Al-Busrin)






Sabda Rasulullah saw yang lain, "Sesungguhnya sebagian manusia merupakan kunci untuk mengingatkan kepada Allah." (Riwayat Ibnu Hibban, disahihkan oleh beliau)
Rasulullah saw bersabda, "Ruh-ruh manusia itu seperti prajurit yang berkelompok-kelompok, jika saling mengenal mereka akan menjadi akrab, dan jika saling bermusuhan maka mereka akan saling berselisih." (Shahih Muslim No. 4773)
"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS. Al-Fatihah [1] : 6-7)
"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddiqin, syuhada danshalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa [4] : 69