Sabtu, 27 Oktober 2012

I want to change the world

ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia, seiiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah. maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasil ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. tetapi malangnya,mereka pun tidak mau berubah. dan kini,sementara aku berbaring saat ajal menjelang , tiba-tiba kusadari: andaikan yang pertama kali kuubah adalah diriku, dan dengan menjadikan diriku sebagai teladan, mungkin aku dapat mengubah keluargaku. lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku. kemudian siapa tahu aku dapat mengubah dunia.... #84 tahun sumpah pemuda

Senin, 15 Oktober 2012

surat untuk jiwa

Surat ini kutujukan untuk diriku sendiri dan saudara-saudaraku yang insya Allah akan tetap mencintai Allah dan Rasul-Nya diatas segalanya, karena hanya dengan cinta itu yang dapat mengalahkan segalanya, cinta hakiki yang membuat manusia melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda, lebih bermakna, lebih indah... Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudaraku yang kerap kali terisi oleh cinta selain-Nya, yang mudah sekali terlena oleh indahnya dunia, yang terkadang melakukan segalanya bukan karena-Nya,lalu diruang hatinya yang kelam, merasa senang jika dilihat dan dipuji orang, entah dimana keikhlasan.. meski saat itu kurasakan kekecewaan dan kelelahan, padahal Allah tidak pernah menanyakan hasil. Dia hanya melihat kesungguhan dalam berproses. Surat ini kutujukan pula untuk jiwaku dan jiwa saudara-saudaraku yang mulai lelah menapaki jalan-Nya, yang mulai seringkali mengeluh, merasa terbebani bahkan untuk menjalankan tugas yang mulia, padahal tiada kesakitan, kelelahan serta kepayahan yang dirasakan oleh seorang hamba melainkan Allah mengampuni dosanya. Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudara-saudaraku yang mulai mati, saat tiada getar saat asma Allah disebut, saat tiada sesal ketika kebaikan terlewatkan begitu saja, saat tiada dosa ketika menzolimi diri dan saudaranya. Akhirnya, surat ini kutujukan untuk jiwa yang masih memiliki cahaya meskipun sedikit, jangan biarkan cahaya itu padam, maka terus kumpulkan cahaya itu hingga ia dapat menerangi wajah-wajah di sekeliling, memberikan keindahan islam yang sesungguhnya, hanya dengan kekuatan dari-Nya.

Ukhuwah Kita

Sungging senyumnya tak seindah dahulu saat aku masih polos. Tutur sapanya tak serenyah dahulu saat aku masih canggung dan malu diajak untuk menuntut ilmu agama. Gerak tubuhnya tak selembut dahulu saat aku masih gemetar menahan sabar untuk berpakaian yang benar serta meninggalkan nyanyian dan gambar. Sorot matanya tak sehangat yang dulu saat aku masih seiring dan sejalan dalam pengajian dan kepanitiaan. Kini aku telah jauh, hatiku mengeluh, kulitku berpeluh, ragaku jarang terbasuh, terbaring lunglai tak berdaya, berduka, dan merana. Celakanya, dia seakan tak mau tahu, sibuk memikirkan dirinya dan teman-temannya yang ada. Atas nama ukhuwah, aku menuntut senyum, sapa dan kelembutannya yang dulu… Ukhuwah –yang definisinya sudah masyhur terpahami–, seiring dengan perjalanan waktu kadang menguap tak berbekas, hilang, lalu meninggalkan kesan bahwa ukhuwah hanya dibutuhkan untuk sementara, hanya untuk menarik simpati belaka di awal cerita. Saudaraku, tiap masa dan waktu kita menyaksikan para thullabul ilmi itu datang dan pergi –futur–. Dulu saat masih sekolah dan kuliah, tunduk bersimpuh di majlis-majlis ilmu. Kini saat sudah berumah tangga dan bekerja, harus menanggung beban yang tidak sama seperti dulu dan menghadapi permasalahan yang tidak sesederhana seperti dulu, sementara bisikan-bisikan jahat makin kerap menyapa dan makin beragam. Memundurkan lahkah yang dulunya teratur di jalan Allah. Lalu pedulikah kamu terhadap apa yang membuatnya perlahan meninggalkan jalan lurus yang seharusnya mengasyikkan dan menentramkan itu? Kebanyakan mengindikasikan adanya kesenjangan dalam ukhuwah. Di satu sisi alasan itu memang tidak bisa dibenarkan, tapi di sisi yang lain seharusnya membuat kita intropeksi dan “nyadar” akan perilaku ukhuwah kita yang memang kebanyakan masih temporer dan tidak permanen, padahal masih sesama muslim. Saudaraku, tiap masa dan waktu kita menyaksikan orang-orang berjiwa hanif itu datang dan pergi –futur–. Dulu saat masih muda dan sama-sama belia, getol dan intens mengkaji hal-hal syar’i, haus mereguk siraman-siraman rohani, idealis dan penuh gelora meniti jejak tapak pendahulu Islam yang shalih. Kini saat umur mulai menua, saat perjalanan takdir mengantarkan pada simpangan-simpangan yang banyak, menuntut pilihan-pilihan hidup yang makin sulit dan saling kait-mengait. Sementara singkapan dunia dan segala buaiannya siap menerkam dari segala arah. Iapun terkadang bingung dan perlahan salah langkah. Lalu pedulikah kamu terhadap apa yang membuatnya perlahan meninggalkan jalan lurus yang seharusnya mengasyikkan dan menentramkan itu? Kebanyakan mengisyaratkan adanya ketimpangan dalam ukhuwah. Boleh saja dia beralasan seperti itu, sebagaimana engkaupun beralasan tentang ukhuwah “dari sisi yang lain” (dengan sekian dalil yg telah engkau persiapkan, namun tidak terpahami olehnya). Tapi elokkkah itu dipertentangkan ketika kita masih dibingkai dalam bingkai indah yang sama yaitu Islam, muslim?. Ukhuwah bukan saatnya di-teori-kan dan di-dialektika-kan antara kita, apalagi kita sama-sama menyandarkan diri pada ikrar syahadatain. Disaat engkau semakin sibuk dalam perjuangan menuntut ilmu syar’i dan dakwah mengajak orang lain ke jalan Allah, dengan bahasa lisan, tulisan dan pergerakan yang memukau. Disaat yang sama engkau lupakan orang yang dahulu pernah berjuang bersamamu, yang kini entah berada dimana. Mereka menjadi tidak penting lagi bagimu karena jarak telah memisahkan. Bahkan aku yang kini terbaring lemah, tiada tempat berkeluh kesah, pun engkau abaikan. Atas nama ukhuwah aku menuntut!Tidakkah engkau peduli dengan masa-masa indah dahulu. Selamilah barang sejenak nasib dan perasaan saudaramu ini, jika engkau masih sudi. Aku tidak peduli dengan seluruh aktivitas dakwahmu dan segudang dalil argumen yang membuatmu berpaling. Aku hanya ingin ukhuwahmu hadir –walau hanya secuil– meredakan penyakitku yang mulai akut ini. Saudaraku –ah,semoga engkau tidak risih dengan panggilan berulang itu–, keluhanku ini memang tidak ilmiah, tidak ada satupun dalil Qur’an dan Hadits yang aku bawakan, tidak juga aqwal dan atsar salafush-shalih yang aku nukilkan (karena kuyakin engkau lebih alim dalam hal ini). Aku hanya mengeluh, semoga Ukhuwah Islamiyah itu tidak pupus dan kembali hadir diantara kita.Aku memang sakit dan sedang terbaring lemah, tapi aku belum “mati”. Sekali lagi aku belum “mati”, imanku masih ada didalam hati walau hanya secuil –insya Allah–. Ataukah engkau memang sedang menunggu “kematianku”? * aku: seorang musafir