Sabtu, 03 November 2012

apple for an angel

"Pada berbagai tahap kehidupan kita, tanda-tanda cinta yang kita temui itu beragam: ketergantungan, daya tarik, kepuasan, kecemasan, kesetiaan, kesedihan, tetapi di dalam hati, sumbernya selalu sama. Manusia mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk saling berhubungan dengan sesamanya, mensyukuri apa adanya." Dia berjalan dengan mata menatap ke bawah, kepala tertunduk. Ketika dia melihatku, dia bicara, dan aku menangkap pandangannya. Dia lusuh dan kumal, tak ada cahaya di matanya. Dia berkata, "Assalaamu 'Alaykum." Begitu sopannya dia. Dengan lembut aku menjawab salamnya, "Wa 'Alaykum salaam." Aku terus berjalan dalam kesunyian, pemuda ini -yang tak kuketahui siapa namanya- telah membawa hatiku pergi jauh, entah ke mana. Aku menatap pada kedua matanya, mengamati sebuah harapan yang pernah sirna, kataku dalam hati, "Bagaimanakah perasaan ibu yang melahirkannya? Bagaimanakah perasaan ibu yang telah menyaksikan putranya tumbuh seperti ini?". Beberapa waktu kemudian kudapati jawaban itu tak akan pernah ada, ibunya telah meninggal -tidak beberapa lama setelah ia lahir. Rupanya ia seorang piatu! Kemudian, aku selalu dikejutkannya pada hari-hari yang lain, dengan salamnya yang tulus dan dengan ekspresi wajahnya yang malu-malu. Ketika sengaja menatap ke dalam kedua bola matanya kali ini, aku kembali dikejutkan dengan binar mata yang sekarang hadir. Aku bersyukur, Semoga saja itu memang karena aku tidak mengabaikannya meski hanya dengan sebuah senyuman. Aku ingat ketika aku pertama kali mengamatinya dengan teliti. Pikiranku mengembara entah ke mana. Antara terharu, iba dan rasa kasihan yang tak terkira. Kupikir sudah seharusnya ada sisa-sisa penghargaan pada seorang anak yang terlahir sebagai seorang manusia dengan kerusakan mental yang parah. Tidak hanya itu, ia juga memiliki mata yang jauh lebih besar dari ukuran normal, tanpa naungan alis yang enggan tumbuh di atasnya. Kulitnya kasar dan bersisik, rambutnya merah seperti rambut jagung, giginya besar-besar, hitam, jarang-jarang dan terlalu maju ke depan pada rahang atas. Hal itu membuatnya tampak seperti menyeringai jika tersenyum. Hal itu akan membuat anak-anak kecil akan berlari-lari dan mengolok-oloknya dari jauh. "Assalaamu 'Alaykum wa RohmatuLlaahi wa Barokaatuh." Suatu hari ia mengucapkan salam dengan sempurna begitu aku lewat. Seingatku Ini pertama kali ia mengucapkan salam dengan lengkap. Aku baru sadar ia sangat bahagia hanya karena aku selalu menjawab salamnya. Maka pagi itu, aku ikut-ikutan menjawab salam tanpa kusingkat sedikitpun. Sejujurnya jawaban salamku hanya sebetik rasa kasihan. Mengapa Allah menciptakan makhluk yang jauh dari sempurna seperti ini, tanyaku dalam hati. Biarlah, Allah Maha Tahu. Tapi ya Allah, betapa pilu ketika aku melihat ia juga mengucapkan salam pada setiap orang, tapi tak seorangpun yang menanggapinya. Rupanya ini alasannya. Rupanya ini yang membuatnya bahagia jika bertemu denganku. Sebuah pengakuan. Pengakuan sebagai manusia meskipun jauh dari kesempurnaan fisik dan mental yang seharusnya dimiliki. Ini memang sangat menyedihkan. Aku menyelami perasaannya, tapi aku juga tahu mengapa orang-orang yang lewat mengacuhkannya. Apakah perlu menjawab seorang pemuda cacat mental dengan kedewasaan seperti anak-anak yang bahkan belum pantas terdaftar pada sekolah dasar? Mungkin itu pikiran kebanyakan orang. Tapi aku tidak. Aku berusaha menjawab salamnya, selalu dan sebisaku. Belakangan ini ia justru menyadarkanku tentang hakikat salam yang seharusnya. Jika ia mengucapkan salam padaku lebih dulu, aku menjawabnya dengan lengkap dan tanpa sadar membuatku berpikir. Berpikir tentang makna salam itu sendiri. "Wa 'Alaykum Salaam wa Rohmatullaah wa Barokaatuh" -Dan salam kesejahteraan juga bagimu dengan Rahmat Allah dan Barokah Allah, doaku dalam hati. sepanjang hidupku, telah banyak kulakukan perbuatan tercela pada orang lain. Aku sadar mengapa salam menjadi hak seorang muslim atas saudaranya. Barangkali doa dalam salam itu berfungsi untuk menghapuskan dosa-dosa yang ada. Ia adalah kebaikan yang mudah diberikan kepada saudara-saudara kita. Sebuah doa, bukan semata-mata ungkapan formalitas tanpa makna. Rupanya aku baru menyadari mengapa Allah menciptakan pemuda cacat ini, kehadirannya bukan tidak berguna seperti dugaanku. Tapi menyadarkan orang-orang sepertiku tentang arti bersyukur pada nikmat Allah yang mudah terlihat tapi sukar di lihat. Nikmat kesempurnaan fisik, kesehatan mental, dan kenikmatan iman. Terima kasih Jo, kataku dalam hati. Jo adalah nama pemuda itu. Akhirnya aku tahu ia tinggal di sebuah kamar petak tidak jauh dari kost-kostanku. Ia rajin pergi ke masjid sebelah rumah kostku, belajar mengaji bersama anak-anak kecil dengan usia minimal 10 tahun di bawah usianya. Aku diberi tahu anak-anak itu -yang tak lain adalah murid-murid ngajiku dulu. Mereka mengatakan bahwa Jo tidak pernah naik dari Iqro 4. Meski begitu ia rajin sekali hadir. Aku sendiri belum pernah melihatnya sewaktu mengajar, atau karena aku tidak memperhatikan saja? Entahlah, kesibukan kuliahku di tingkat akhir membuatku jarang lagi mengajar anak-anak kecil itu. Semoga Allah mengampuniku atas amanah yang telah kulalaikan. Suatu hari aku terkejut mendapati Jo berdiri di depan pintu rumah kostku. Gayanya malu-malu, kemudian ia mengucap salam seperti biasa. Aku baru saja selesai membenahi semua barang-barangku dan mengepaknya dalam beberapa kardus besar. Hari ini aku pindah kost. "Teteh mau pindah?" ia bertanya. Aku menjawab dengan sebuah anggukan. Dalam sekejab tatapan matanya menjadi sayu, seolah-olah sangat sedih mendengar berita itu. Hatiku trenyuh. "Teteh ..." ia berkata lagi. Dikeluarkannya sebutir apel lusuh dari balik kantong bajunya yang kumal. Apel besar berwarna hijau masih lengkap dengan tempelan merk Switzerland. Itu apel yang hanya bisa di dapat di departmen store, pikirku. Sungguh, Aku tidak bisa menduga maksud ia menunjukkan apel itu padaku. "Saya memecah celengan ayam saya buat beli apel ini, ini buat teteh." Dia berkata. Diangsurkannya apel itu padaku. Oh, Aku bertanya-tanya dalam hati "Apakah ini tidak salah?" Meski begitu, kuterima saja apel itu dengan tatapan penuh tanya, ia hanya tersipu malu lalu berkata pelan-pelan, "Ustadz bilang, di surga ada banyak bidadari yang baik. Bidadari itu juga hanya makan makanan yang baik-baik di surga, di sana banyak buah-buahan..." Aku menatapnya lebih dalam. Berusaha mencari makna dibalik kata-kata yang belum kupahami. "Kata ustadz lagi, bidadari surga itu juga ada di dunia dalam bentuk wanita sholihah.." di sini kalimatnya berhenti, ia tersenyum malu-malu dan menundukkan kepalanya dalam-dalam, lalu melanjutkan "kata ustadz juga, wanita sholihah itu salah satu cirinya baik hati dan berjilbab rapih seperti teteh ..." Aku terharu mendengar penjelasannya yang sederhana namun sarat makna. Tanpa sadar meremas-remas ujung jilbabku, kuingat Nabi Muhammad SAW bersabda : "Jangan anggap remeh suatu perbuatan baik, bahkan jikapun kamu bertemu saudaramu dengan muka tersenyum (karena itu adalah perbuatan yang berat timbangan kebaikannya)." Kemudian, sewaktu aku menatap kembali ke dalam bola matanya, aku tahu bahwa karena pemuda buruk rupa yang cacat mental ini, aku tidak hanya telah diajak ke dalam dunia perenungan dan kesunyian yang aneh -aku telah diberi kesempatan untuk menghargai orang secara terbuka untuk pertama kalinya dan untuk 'mengenang hal-hal yang baik dalam diri orang lain', sekecil apapun itu. Setelah hari itu, tampaknya jauh lebih mudah untuk memuji dan meluhurkan Allah atas semua yang kuterima dalam hidupku yang 'benar, mulia, dan adil' -termasuk sebutir apel dari seorang pemuda cacat mental seperti Jo. Mungkin baginya hadiah terbesar yang bisa dipersembahkannya kepadaku adalah apel itu. Bukan masalah soal harganya, namun nilai makna yang terkandung dalam apel itu membuatku terharu. Pikirannya memang sangat sederhana, tapi itu justru membuatnya mudah menyerap nilai-nilai kebaikan yang diberikan orang kepadanya. Dengan seulas senyum saja, ia telah memberiku predikat seseorang yang baik-hati. Dengan hanya menjawab salamnya saja ia telah mensejajarkanku dengan bidadari surga! Aku sungguh terharu! Tak akan kulupa dia, saat dia mengiringi kepindahanku dengan tatapan matanya, karena dia telah memberiku sesuatu yang tak akan pernah bisa kubayar. Dia berikan padaku kesempatan untuk memberi yang kumampu, kesempatan untuk menunjukkan cinta pada mereka yang tersingkir --kesempatan untuk sekedar tersenyum dan menjawab salam ketika tak seorang pun bersedia -- kesempatan untuk menjadi manusia istimewa, kesempatan untuk melakukan kebaikan. Aku akan selalu berterima kasih pada pemuda cacat mental itu karena menunjukkan padaku cinta dalam seuntai doa, untuk memberiku kesempatan menjadi seseorang yang memiliki kepekaan hati lebih banyak, untuk memberiku kesempatan menjawab ketukannya di pintu kalbuku. Kau tahu, aku bukanlah bidadari, meski aku ingin sekali menjadi salah satunya. Aku telah melukai banyak orang dengan menjadi diriku, dan orang ini, orang yang cacat ini, yang tidak mengabaikan diriku, untuk sejenak melepaskan seorang bidadari untuk terbang bebas.

Jumat, 02 November 2012

Cintai dalam diam

Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam ... karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya ... kau ingin memuliakan dia, dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang, kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya.. karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu.. menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu .. karena diammu bukti kesetiaanmu padanya .. karena mungkin saja orang yang kau cinta adalah juga orang yang telah ALLAH swt. pilihkan untukmu ... ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan ALi ? yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan ... tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah karena dalam diammu tersimpan kekuatan ... kekuatan harapan ... hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata ... bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap padanya ? dan jika memang 'cinta dalam diammu' itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam ... jika dia memang bukan milikmu, toh Allah, melalui waktu akan menghapus 'cinta dalam diammu' itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat ... biarkan 'cinta dalam diammu' itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu ... #malam

Sabtu, 27 Oktober 2012

I want to change the world

ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia, seiiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah. maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasil ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. tetapi malangnya,mereka pun tidak mau berubah. dan kini,sementara aku berbaring saat ajal menjelang , tiba-tiba kusadari: andaikan yang pertama kali kuubah adalah diriku, dan dengan menjadikan diriku sebagai teladan, mungkin aku dapat mengubah keluargaku. lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku. kemudian siapa tahu aku dapat mengubah dunia.... #84 tahun sumpah pemuda

Senin, 15 Oktober 2012

surat untuk jiwa

Surat ini kutujukan untuk diriku sendiri dan saudara-saudaraku yang insya Allah akan tetap mencintai Allah dan Rasul-Nya diatas segalanya, karena hanya dengan cinta itu yang dapat mengalahkan segalanya, cinta hakiki yang membuat manusia melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda, lebih bermakna, lebih indah... Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudaraku yang kerap kali terisi oleh cinta selain-Nya, yang mudah sekali terlena oleh indahnya dunia, yang terkadang melakukan segalanya bukan karena-Nya,lalu diruang hatinya yang kelam, merasa senang jika dilihat dan dipuji orang, entah dimana keikhlasan.. meski saat itu kurasakan kekecewaan dan kelelahan, padahal Allah tidak pernah menanyakan hasil. Dia hanya melihat kesungguhan dalam berproses. Surat ini kutujukan pula untuk jiwaku dan jiwa saudara-saudaraku yang mulai lelah menapaki jalan-Nya, yang mulai seringkali mengeluh, merasa terbebani bahkan untuk menjalankan tugas yang mulia, padahal tiada kesakitan, kelelahan serta kepayahan yang dirasakan oleh seorang hamba melainkan Allah mengampuni dosanya. Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudara-saudaraku yang mulai mati, saat tiada getar saat asma Allah disebut, saat tiada sesal ketika kebaikan terlewatkan begitu saja, saat tiada dosa ketika menzolimi diri dan saudaranya. Akhirnya, surat ini kutujukan untuk jiwa yang masih memiliki cahaya meskipun sedikit, jangan biarkan cahaya itu padam, maka terus kumpulkan cahaya itu hingga ia dapat menerangi wajah-wajah di sekeliling, memberikan keindahan islam yang sesungguhnya, hanya dengan kekuatan dari-Nya.

Ukhuwah Kita

Sungging senyumnya tak seindah dahulu saat aku masih polos. Tutur sapanya tak serenyah dahulu saat aku masih canggung dan malu diajak untuk menuntut ilmu agama. Gerak tubuhnya tak selembut dahulu saat aku masih gemetar menahan sabar untuk berpakaian yang benar serta meninggalkan nyanyian dan gambar. Sorot matanya tak sehangat yang dulu saat aku masih seiring dan sejalan dalam pengajian dan kepanitiaan. Kini aku telah jauh, hatiku mengeluh, kulitku berpeluh, ragaku jarang terbasuh, terbaring lunglai tak berdaya, berduka, dan merana. Celakanya, dia seakan tak mau tahu, sibuk memikirkan dirinya dan teman-temannya yang ada. Atas nama ukhuwah, aku menuntut senyum, sapa dan kelembutannya yang dulu… Ukhuwah –yang definisinya sudah masyhur terpahami–, seiring dengan perjalanan waktu kadang menguap tak berbekas, hilang, lalu meninggalkan kesan bahwa ukhuwah hanya dibutuhkan untuk sementara, hanya untuk menarik simpati belaka di awal cerita. Saudaraku, tiap masa dan waktu kita menyaksikan para thullabul ilmi itu datang dan pergi –futur–. Dulu saat masih sekolah dan kuliah, tunduk bersimpuh di majlis-majlis ilmu. Kini saat sudah berumah tangga dan bekerja, harus menanggung beban yang tidak sama seperti dulu dan menghadapi permasalahan yang tidak sesederhana seperti dulu, sementara bisikan-bisikan jahat makin kerap menyapa dan makin beragam. Memundurkan lahkah yang dulunya teratur di jalan Allah. Lalu pedulikah kamu terhadap apa yang membuatnya perlahan meninggalkan jalan lurus yang seharusnya mengasyikkan dan menentramkan itu? Kebanyakan mengindikasikan adanya kesenjangan dalam ukhuwah. Di satu sisi alasan itu memang tidak bisa dibenarkan, tapi di sisi yang lain seharusnya membuat kita intropeksi dan “nyadar” akan perilaku ukhuwah kita yang memang kebanyakan masih temporer dan tidak permanen, padahal masih sesama muslim. Saudaraku, tiap masa dan waktu kita menyaksikan orang-orang berjiwa hanif itu datang dan pergi –futur–. Dulu saat masih muda dan sama-sama belia, getol dan intens mengkaji hal-hal syar’i, haus mereguk siraman-siraman rohani, idealis dan penuh gelora meniti jejak tapak pendahulu Islam yang shalih. Kini saat umur mulai menua, saat perjalanan takdir mengantarkan pada simpangan-simpangan yang banyak, menuntut pilihan-pilihan hidup yang makin sulit dan saling kait-mengait. Sementara singkapan dunia dan segala buaiannya siap menerkam dari segala arah. Iapun terkadang bingung dan perlahan salah langkah. Lalu pedulikah kamu terhadap apa yang membuatnya perlahan meninggalkan jalan lurus yang seharusnya mengasyikkan dan menentramkan itu? Kebanyakan mengisyaratkan adanya ketimpangan dalam ukhuwah. Boleh saja dia beralasan seperti itu, sebagaimana engkaupun beralasan tentang ukhuwah “dari sisi yang lain” (dengan sekian dalil yg telah engkau persiapkan, namun tidak terpahami olehnya). Tapi elokkkah itu dipertentangkan ketika kita masih dibingkai dalam bingkai indah yang sama yaitu Islam, muslim?. Ukhuwah bukan saatnya di-teori-kan dan di-dialektika-kan antara kita, apalagi kita sama-sama menyandarkan diri pada ikrar syahadatain. Disaat engkau semakin sibuk dalam perjuangan menuntut ilmu syar’i dan dakwah mengajak orang lain ke jalan Allah, dengan bahasa lisan, tulisan dan pergerakan yang memukau. Disaat yang sama engkau lupakan orang yang dahulu pernah berjuang bersamamu, yang kini entah berada dimana. Mereka menjadi tidak penting lagi bagimu karena jarak telah memisahkan. Bahkan aku yang kini terbaring lemah, tiada tempat berkeluh kesah, pun engkau abaikan. Atas nama ukhuwah aku menuntut!Tidakkah engkau peduli dengan masa-masa indah dahulu. Selamilah barang sejenak nasib dan perasaan saudaramu ini, jika engkau masih sudi. Aku tidak peduli dengan seluruh aktivitas dakwahmu dan segudang dalil argumen yang membuatmu berpaling. Aku hanya ingin ukhuwahmu hadir –walau hanya secuil– meredakan penyakitku yang mulai akut ini. Saudaraku –ah,semoga engkau tidak risih dengan panggilan berulang itu–, keluhanku ini memang tidak ilmiah, tidak ada satupun dalil Qur’an dan Hadits yang aku bawakan, tidak juga aqwal dan atsar salafush-shalih yang aku nukilkan (karena kuyakin engkau lebih alim dalam hal ini). Aku hanya mengeluh, semoga Ukhuwah Islamiyah itu tidak pupus dan kembali hadir diantara kita.Aku memang sakit dan sedang terbaring lemah, tapi aku belum “mati”. Sekali lagi aku belum “mati”, imanku masih ada didalam hati walau hanya secuil –insya Allah–. Ataukah engkau memang sedang menunggu “kematianku”? * aku: seorang musafir