Selasa, 01 April 2014

Kulitnya hitam. Wajahnya jelek. Usianya tua. Waktu pertama kali masuk ke rumah wanita itu hampir saja ia percaya kalau ia berada di rumah hantu. Lelaki kaya dan tampan itu sejenak ragu kembali. Sanggupkah ia menjalani keputusannya? Tapi ia segera kembali pada tekadnya. Ia sudah memutuskan untuk menikah dan mencintai perempuan itu. Apapun resikonya.

Suatu saat perempuan itu berkata padanya, " ini emas-emasku yang sudah lama kutabung pakailah ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa aku pernah menikah dan menjadi seorang istri." Tapi lelaki itu malah menjawab," Aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi."

Semua orang terheran-heran. Keluarga itu tetap utuh sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka kemudian dikaruniai anak-anak dengan kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian orang-orang menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki itu menjawab enteng," Aku memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku bahkan tak pernah merasakan kekurangannya dalam kesadaranku. Yang kurasakan adalah kenyamanan jiwa yang melupakan aku pada fisik."

Begitulah cinta ketika ia terurai jadi laku. Ukuran integritas cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati ….terkembang dalam kata….terurai dalam laku…. Seperti lelaki itu, yang terus membahagiakan istrinya, begitu ia memutuskan untuk mencintainya. Dan istrinya, yang terus menerus melahirkan kebaikan dari cinta tanpa henti. Cinta yang terurai jadi laku adalah jawaban atas angka-angka perceraian yang semakin menganga lebar dalam masyarakat kita.

Tak mudah memang menemukan cinta yang ini. Tapi harus begitulah cinta, seperti kata imam syafi'i :
"Kalau sudah ada cinta di sisimu
Semua kan jadi enteng
Dan semua yang ada diatas tanah
Hanyalah tanah jua"

Atau seperti kata Sapardi:
" Aku ingin mencintaimu
Secara sederhana
Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
Secara sederhana
Seperti awan kepada hujan yang menjadikannya tiada"






Sungguh beruntunglah mereka… sungguh beruntunglah… Beruntunglah mereka yang apabila kita membersamainya, membuat kita ingat kepada Allah…


Tapi sahabat, bukan berarti begini. Bukan berarti ketika kita naik angkot, lalu Sang Nakhoda, eeh… Sang Supir maksudnya, melarikan itu andong…ehh… angkot dengan kecepatan 180 km per jam, lalu membuat kita langsung beristighfar dan langsung ingat mati, langsung ingat Allah, dan langsung ingat bahwa amal-amal kita masih sedikit. Hehe. Bukan…bukan yang seperti ini yang kumaksudkan.

Tapi, orang-orang yang ketika kita bersamanya, jangankan mendengarkan kalimatnya saja, cukup memandangi wajahnya, telah menyejukkan hati kita dan membuat kita ingat kepada Allah, dan membuat kita ingin melakukan kebajikan karenanya. Masya Allah. Sungguh luar biasa mereka itu. Sungguh luar biasa, mereka yang memiliki ruh-ruh yang baik itu.
Pernahkah kau rasakan? Mungkin pernah. Ada kalanya, ketika kita berjumpa dengan seseorang, lalu, yang kita rasakan hanyalah sekedar mimpi-mimpi dunia belaka. Atau, bahkan hanya ngalor-ngidul saja. Hanya canda-canda saja. (Astaghfirullaah…astaghfirullaah…barangkali kita—terutama diriku—adalah pelakunya).

Namun, ada kalanya, ketika berjumpa dengan seseorang, yang kita rasakan justru pancaran kebaikan. Mungkin ia tak banyak berkata-kata. Tapi, sedikit nasihatnya saja, sudah membuat kita ingin berlama-lama dengan kebajikan. Karena mereka berbicara birruh… dengan ruh, dengan bukti nyata amal perbuatannya. Tidak sekedar kata. Sungguh, beruntunglah mereka itu.

Memang, ruh, iman, adalah sesuatu yang 'yazid wa yanqus'. Ada kalanya naik, ada kalanya turun. Dan, sungguh adalah suatu yang absurb jika seseorang terus berada di puncak grafik keimanan, selalu. Bukankah sudah fitrahnya begitu? Bahkan, kata seorang ustadz, “Tidak masalah jika kita ‘kehilangan’ hafalan, karena dengan demikian, kita akan berusaha untuk menjemput dan kembali menjemputnya. Dengan demikian, ia akan menjadi salah satu ceruk amalan bagi kita. Ia yang akan menjadi pendapar bagi ruhiyah kita.” Bukan berarti ini membenarkan atas ‘kehilangan’ itu. Tapi, ini menyoal kontinutas barang kali.
Maka, sungguh, berkumpul dengan ruh-ruh shalih itulah yang kemudian menjadi salah satu ‘obat hati’ bagi kita. Orang-orang yang dengan melihatnya, akan mengingatkan kita kepada Allah. Ruh itu, akan senantiasa mempengaruhi, satu sama lainnya.
Jika memang demikian, tidaklah salah, jika kesendirian (tanpa jama’ah) atau memisahkan diri dari jama’ah akan lebih cepat mengoksidasi iman. Akan lebih cepat membuat kita menurun ke lembah ter-kritis grafik sinus keimanan. Karena, ruh-ruh itu saling mempengaruhi.

Dahulu, dalam sebuah diskusi pernah dipertanyakan, “Eih, buat apa siih, ngumpul-ngumpul begitu? Bikin halaqoh—bikin lingkaran—begitu? Apalagi, kapasitas Sang Pembicaranya tidak selalu dari latar keagamaan yang jelas-jelas kafa’ah ilmunya bukan fiqh, ‘aqidah, hadits, apa pun itu?” Maka, jawabannya ada pada ruh-ruh yang saling mempengaruhi. Bahkan—seperti yang sudah kita singgung tadi—jangankan bicara, berkumpul saja, menatap wajah saja, sudah memberikan charger energy ruhiyah buat diri kita. Dan, jika hanya mengandalkan ilmu dari pertemuan yang singkat dengan kelompok-kelompok kecil saja, barang kali kita sudah salah persepsi. Karena, toh, sarananya bukan hanya ada kelompok itu saja. Masi tersedia sarana-sarana lain yang memang diisi oleh orang-orang yang berkafa’ah di bidangnya. Iya kan?
Jadi, sungguh…berkumpul dengan orang-orang shalih itu, akan mendatangkan obat hati bagi kita. Maka, berkumpullah… dengan mereka… dengan ruh-ruh penuh kebaikan.
Suatu saat beberapa sahabat bertanya, "Karib seperti apa yang baik untuk kami?" Rasulullah saw menjawab, "Yakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengingatkan kalian kepada Allah." (Riwayat Abu Ya’la, dihasankan Al-Busrin)






Sabda Rasulullah saw yang lain, "Sesungguhnya sebagian manusia merupakan kunci untuk mengingatkan kepada Allah." (Riwayat Ibnu Hibban, disahihkan oleh beliau)
Rasulullah saw bersabda, "Ruh-ruh manusia itu seperti prajurit yang berkelompok-kelompok, jika saling mengenal mereka akan menjadi akrab, dan jika saling bermusuhan maka mereka akan saling berselisih." (Shahih Muslim No. 4773)
"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (QS. Al-Fatihah [1] : 6-7)
"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, shiddiqin, syuhada danshalihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. An-Nisa [4] : 69



















Jumat, 25 Januari 2013

panggung yang kejam

tulisan ini diambil dari page kolom majalah tarbawi yang sangat menginspirasi




Dunia panggung itu sangat menggoda.
Tapi juga kejam.
Politik adalah panggung. sekaligus tempat di mana para politisi seringkali tertipu oleh bayang-bayangnya sendiri. Merasa selalu hadir dalam kesadaran seluruh masyarakat. Karenanya, begitu kalah dalam kompetisi politik mereka seperti tak percaya.


Mereka lupa, bahwa membangun kebesaran diri dengan citra tidak sama dengan menumbuhkan kekuatan diri dengan karya nyata. Kemajuan teknologi informasi, gurita industri media, memberi setiap orang kesempatan untuk terkenal tapi tidak dikenal.


Di negeri ini tidak ada yang lebih sabar dari rakyat. Mereka mengikuti seluruh hajatan politik yang melelahkan. Memilih calon presiden yang mereka anggap terbaik. Sesudah itu rakyat harus bergelut dengan dunianya sendiri. Namun, di panggung itu kalah dan menang rupanya tidak begitu saja selesai dengan mudah. Maka, bila segala yang telah diberikan rakyat kepada para calon presiden itu dianggap belum cukup, mereka tidak pernah lagi peduli.


Dunia panggung itu sangat menggoda. Tapi sekaligus kejam. Dunia konspirasi adalah panggung yang kejam.Tempat dimana para pelaku pemboman tertipu oleh perasaannya sendiri. Mereka bermimpi bisa menimbulkan kecurigaan massal di masyarakat. Ada sedih, pasti. Ada duka ,pasti. Tapi konspirasi murahan itu hanya komoditas segelintir orang. Para pengecut itu tidak pernah lebih berharga dari sampah.


Dunia panggung itu sangat menggoda. Tapi sekaligus kejam. Selebritas adalah panggung. Tempat dimana banyak artis tertipu oleh bayang-bayang mereka sendiri. Mereka pikir dengan terus memamerkan perselingkuhan bisa membuat mereka dicintai masyarakat. Atau memamerkan lelaki baru,perempuan baru, yang bukan siapa-siapa secara hukum, tapi sudah diperlakukan layaknya suami istri. Beberapa orang mungkin kagum. Tapi jutaan lagi merasa mual.


Popularitas di dunia panggung hari ini dibangun dengan jarak yang sangat jauh dari realitas. Dan, itu masalah terbesarnya. Di sana ada histeria. Saat-saat seorang yang merasa dirinya public figure yang dielu-elukan , dipanggil namanya. Saat orang-orang berebut untuk mencium tangannya. Ditambah lagi sorot lampu kamera, sorongan alat rekaman, yang telah berubah menjadi racun. Tapi histeria dunia panggung tidak sama dengan histeria di dunia realitas.


Dunia panggung itu sangat menggoda. Tapi juga kejam. Tempat banyak orang tertipu oleh bayang-bayang mereka sendiri. Mereka terkenal tapi tidak dikenal. Padahal, di negeri dengan penduduk lebih dari dua ratus juta orang, ada banyak orang-orang besar yang tak pernah punya kesempatan tampil di panggung.



#tulisan ini ditujukan untuk para pemimpin dan politisi yang gemar mengumbar citra diri di depan rakyat tanpa kerja nyata




Sabtu, 03 November 2012

apple for an angel

"Pada berbagai tahap kehidupan kita, tanda-tanda cinta yang kita temui itu beragam: ketergantungan, daya tarik, kepuasan, kecemasan, kesetiaan, kesedihan, tetapi di dalam hati, sumbernya selalu sama. Manusia mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk saling berhubungan dengan sesamanya, mensyukuri apa adanya." Dia berjalan dengan mata menatap ke bawah, kepala tertunduk. Ketika dia melihatku, dia bicara, dan aku menangkap pandangannya. Dia lusuh dan kumal, tak ada cahaya di matanya. Dia berkata, "Assalaamu 'Alaykum." Begitu sopannya dia. Dengan lembut aku menjawab salamnya, "Wa 'Alaykum salaam." Aku terus berjalan dalam kesunyian, pemuda ini -yang tak kuketahui siapa namanya- telah membawa hatiku pergi jauh, entah ke mana. Aku menatap pada kedua matanya, mengamati sebuah harapan yang pernah sirna, kataku dalam hati, "Bagaimanakah perasaan ibu yang melahirkannya? Bagaimanakah perasaan ibu yang telah menyaksikan putranya tumbuh seperti ini?". Beberapa waktu kemudian kudapati jawaban itu tak akan pernah ada, ibunya telah meninggal -tidak beberapa lama setelah ia lahir. Rupanya ia seorang piatu! Kemudian, aku selalu dikejutkannya pada hari-hari yang lain, dengan salamnya yang tulus dan dengan ekspresi wajahnya yang malu-malu. Ketika sengaja menatap ke dalam kedua bola matanya kali ini, aku kembali dikejutkan dengan binar mata yang sekarang hadir. Aku bersyukur, Semoga saja itu memang karena aku tidak mengabaikannya meski hanya dengan sebuah senyuman. Aku ingat ketika aku pertama kali mengamatinya dengan teliti. Pikiranku mengembara entah ke mana. Antara terharu, iba dan rasa kasihan yang tak terkira. Kupikir sudah seharusnya ada sisa-sisa penghargaan pada seorang anak yang terlahir sebagai seorang manusia dengan kerusakan mental yang parah. Tidak hanya itu, ia juga memiliki mata yang jauh lebih besar dari ukuran normal, tanpa naungan alis yang enggan tumbuh di atasnya. Kulitnya kasar dan bersisik, rambutnya merah seperti rambut jagung, giginya besar-besar, hitam, jarang-jarang dan terlalu maju ke depan pada rahang atas. Hal itu membuatnya tampak seperti menyeringai jika tersenyum. Hal itu akan membuat anak-anak kecil akan berlari-lari dan mengolok-oloknya dari jauh. "Assalaamu 'Alaykum wa RohmatuLlaahi wa Barokaatuh." Suatu hari ia mengucapkan salam dengan sempurna begitu aku lewat. Seingatku Ini pertama kali ia mengucapkan salam dengan lengkap. Aku baru sadar ia sangat bahagia hanya karena aku selalu menjawab salamnya. Maka pagi itu, aku ikut-ikutan menjawab salam tanpa kusingkat sedikitpun. Sejujurnya jawaban salamku hanya sebetik rasa kasihan. Mengapa Allah menciptakan makhluk yang jauh dari sempurna seperti ini, tanyaku dalam hati. Biarlah, Allah Maha Tahu. Tapi ya Allah, betapa pilu ketika aku melihat ia juga mengucapkan salam pada setiap orang, tapi tak seorangpun yang menanggapinya. Rupanya ini alasannya. Rupanya ini yang membuatnya bahagia jika bertemu denganku. Sebuah pengakuan. Pengakuan sebagai manusia meskipun jauh dari kesempurnaan fisik dan mental yang seharusnya dimiliki. Ini memang sangat menyedihkan. Aku menyelami perasaannya, tapi aku juga tahu mengapa orang-orang yang lewat mengacuhkannya. Apakah perlu menjawab seorang pemuda cacat mental dengan kedewasaan seperti anak-anak yang bahkan belum pantas terdaftar pada sekolah dasar? Mungkin itu pikiran kebanyakan orang. Tapi aku tidak. Aku berusaha menjawab salamnya, selalu dan sebisaku. Belakangan ini ia justru menyadarkanku tentang hakikat salam yang seharusnya. Jika ia mengucapkan salam padaku lebih dulu, aku menjawabnya dengan lengkap dan tanpa sadar membuatku berpikir. Berpikir tentang makna salam itu sendiri. "Wa 'Alaykum Salaam wa Rohmatullaah wa Barokaatuh" -Dan salam kesejahteraan juga bagimu dengan Rahmat Allah dan Barokah Allah, doaku dalam hati. sepanjang hidupku, telah banyak kulakukan perbuatan tercela pada orang lain. Aku sadar mengapa salam menjadi hak seorang muslim atas saudaranya. Barangkali doa dalam salam itu berfungsi untuk menghapuskan dosa-dosa yang ada. Ia adalah kebaikan yang mudah diberikan kepada saudara-saudara kita. Sebuah doa, bukan semata-mata ungkapan formalitas tanpa makna. Rupanya aku baru menyadari mengapa Allah menciptakan pemuda cacat ini, kehadirannya bukan tidak berguna seperti dugaanku. Tapi menyadarkan orang-orang sepertiku tentang arti bersyukur pada nikmat Allah yang mudah terlihat tapi sukar di lihat. Nikmat kesempurnaan fisik, kesehatan mental, dan kenikmatan iman. Terima kasih Jo, kataku dalam hati. Jo adalah nama pemuda itu. Akhirnya aku tahu ia tinggal di sebuah kamar petak tidak jauh dari kost-kostanku. Ia rajin pergi ke masjid sebelah rumah kostku, belajar mengaji bersama anak-anak kecil dengan usia minimal 10 tahun di bawah usianya. Aku diberi tahu anak-anak itu -yang tak lain adalah murid-murid ngajiku dulu. Mereka mengatakan bahwa Jo tidak pernah naik dari Iqro 4. Meski begitu ia rajin sekali hadir. Aku sendiri belum pernah melihatnya sewaktu mengajar, atau karena aku tidak memperhatikan saja? Entahlah, kesibukan kuliahku di tingkat akhir membuatku jarang lagi mengajar anak-anak kecil itu. Semoga Allah mengampuniku atas amanah yang telah kulalaikan. Suatu hari aku terkejut mendapati Jo berdiri di depan pintu rumah kostku. Gayanya malu-malu, kemudian ia mengucap salam seperti biasa. Aku baru saja selesai membenahi semua barang-barangku dan mengepaknya dalam beberapa kardus besar. Hari ini aku pindah kost. "Teteh mau pindah?" ia bertanya. Aku menjawab dengan sebuah anggukan. Dalam sekejab tatapan matanya menjadi sayu, seolah-olah sangat sedih mendengar berita itu. Hatiku trenyuh. "Teteh ..." ia berkata lagi. Dikeluarkannya sebutir apel lusuh dari balik kantong bajunya yang kumal. Apel besar berwarna hijau masih lengkap dengan tempelan merk Switzerland. Itu apel yang hanya bisa di dapat di departmen store, pikirku. Sungguh, Aku tidak bisa menduga maksud ia menunjukkan apel itu padaku. "Saya memecah celengan ayam saya buat beli apel ini, ini buat teteh." Dia berkata. Diangsurkannya apel itu padaku. Oh, Aku bertanya-tanya dalam hati "Apakah ini tidak salah?" Meski begitu, kuterima saja apel itu dengan tatapan penuh tanya, ia hanya tersipu malu lalu berkata pelan-pelan, "Ustadz bilang, di surga ada banyak bidadari yang baik. Bidadari itu juga hanya makan makanan yang baik-baik di surga, di sana banyak buah-buahan..." Aku menatapnya lebih dalam. Berusaha mencari makna dibalik kata-kata yang belum kupahami. "Kata ustadz lagi, bidadari surga itu juga ada di dunia dalam bentuk wanita sholihah.." di sini kalimatnya berhenti, ia tersenyum malu-malu dan menundukkan kepalanya dalam-dalam, lalu melanjutkan "kata ustadz juga, wanita sholihah itu salah satu cirinya baik hati dan berjilbab rapih seperti teteh ..." Aku terharu mendengar penjelasannya yang sederhana namun sarat makna. Tanpa sadar meremas-remas ujung jilbabku, kuingat Nabi Muhammad SAW bersabda : "Jangan anggap remeh suatu perbuatan baik, bahkan jikapun kamu bertemu saudaramu dengan muka tersenyum (karena itu adalah perbuatan yang berat timbangan kebaikannya)." Kemudian, sewaktu aku menatap kembali ke dalam bola matanya, aku tahu bahwa karena pemuda buruk rupa yang cacat mental ini, aku tidak hanya telah diajak ke dalam dunia perenungan dan kesunyian yang aneh -aku telah diberi kesempatan untuk menghargai orang secara terbuka untuk pertama kalinya dan untuk 'mengenang hal-hal yang baik dalam diri orang lain', sekecil apapun itu. Setelah hari itu, tampaknya jauh lebih mudah untuk memuji dan meluhurkan Allah atas semua yang kuterima dalam hidupku yang 'benar, mulia, dan adil' -termasuk sebutir apel dari seorang pemuda cacat mental seperti Jo. Mungkin baginya hadiah terbesar yang bisa dipersembahkannya kepadaku adalah apel itu. Bukan masalah soal harganya, namun nilai makna yang terkandung dalam apel itu membuatku terharu. Pikirannya memang sangat sederhana, tapi itu justru membuatnya mudah menyerap nilai-nilai kebaikan yang diberikan orang kepadanya. Dengan seulas senyum saja, ia telah memberiku predikat seseorang yang baik-hati. Dengan hanya menjawab salamnya saja ia telah mensejajarkanku dengan bidadari surga! Aku sungguh terharu! Tak akan kulupa dia, saat dia mengiringi kepindahanku dengan tatapan matanya, karena dia telah memberiku sesuatu yang tak akan pernah bisa kubayar. Dia berikan padaku kesempatan untuk memberi yang kumampu, kesempatan untuk menunjukkan cinta pada mereka yang tersingkir --kesempatan untuk sekedar tersenyum dan menjawab salam ketika tak seorang pun bersedia -- kesempatan untuk menjadi manusia istimewa, kesempatan untuk melakukan kebaikan. Aku akan selalu berterima kasih pada pemuda cacat mental itu karena menunjukkan padaku cinta dalam seuntai doa, untuk memberiku kesempatan menjadi seseorang yang memiliki kepekaan hati lebih banyak, untuk memberiku kesempatan menjawab ketukannya di pintu kalbuku. Kau tahu, aku bukanlah bidadari, meski aku ingin sekali menjadi salah satunya. Aku telah melukai banyak orang dengan menjadi diriku, dan orang ini, orang yang cacat ini, yang tidak mengabaikan diriku, untuk sejenak melepaskan seorang bidadari untuk terbang bebas.

Jumat, 02 November 2012

Cintai dalam diam

Bila belum siap melangkah lebih jauh dengan seseorang, cukup cintai ia dalam diam ... karena diammu adalah salah satu bukti cintamu padanya ... kau ingin memuliakan dia, dengan tidak mengajaknya menjalin hubungan yang terlarang, kau tak mau merusak kesucian dan penjagaan hatinya.. karena diammu memuliakan kesucian diri dan hatimu.. menghindarkan dirimu dari hal-hal yang akan merusak izzah dan iffahmu .. karena diammu bukti kesetiaanmu padanya .. karena mungkin saja orang yang kau cinta adalah juga orang yang telah ALLAH swt. pilihkan untukmu ... ingatkah kalian tentang kisah Fatimah dan ALi ? yang keduanya saling memendam apa yang mereka rasakan ... tapi pada akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci nan indah karena dalam diammu tersimpan kekuatan ... kekuatan harapan ... hingga mungkin saja Allah akan membuat harapan itu menjadi nyata hingga cintamu yang diam itu dapat berbicara dalam kehidupan nyata ... bukankah Allah tak akan pernah memutuskan harapan hamba yang berharap padanya ? dan jika memang 'cinta dalam diammu' itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam ... jika dia memang bukan milikmu, toh Allah, melalui waktu akan menghapus 'cinta dalam diammu' itu dengan memberi rasa yang lebih indah dan orang yang tepat ... biarkan 'cinta dalam diammu' itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu menjadi rahasia antara kau dengan Sang Pemilik hatimu ... #malam

Sabtu, 27 Oktober 2012

I want to change the world

ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia, seiiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah. maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasil ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku. tetapi malangnya,mereka pun tidak mau berubah. dan kini,sementara aku berbaring saat ajal menjelang , tiba-tiba kusadari: andaikan yang pertama kali kuubah adalah diriku, dan dengan menjadikan diriku sebagai teladan, mungkin aku dapat mengubah keluargaku. lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku. kemudian siapa tahu aku dapat mengubah dunia.... #84 tahun sumpah pemuda

Senin, 15 Oktober 2012

surat untuk jiwa

Surat ini kutujukan untuk diriku sendiri dan saudara-saudaraku yang insya Allah akan tetap mencintai Allah dan Rasul-Nya diatas segalanya, karena hanya dengan cinta itu yang dapat mengalahkan segalanya, cinta hakiki yang membuat manusia melihat segalanya dari sudut pandang yang berbeda, lebih bermakna, lebih indah... Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudaraku yang kerap kali terisi oleh cinta selain-Nya, yang mudah sekali terlena oleh indahnya dunia, yang terkadang melakukan segalanya bukan karena-Nya,lalu diruang hatinya yang kelam, merasa senang jika dilihat dan dipuji orang, entah dimana keikhlasan.. meski saat itu kurasakan kekecewaan dan kelelahan, padahal Allah tidak pernah menanyakan hasil. Dia hanya melihat kesungguhan dalam berproses. Surat ini kutujukan pula untuk jiwaku dan jiwa saudara-saudaraku yang mulai lelah menapaki jalan-Nya, yang mulai seringkali mengeluh, merasa terbebani bahkan untuk menjalankan tugas yang mulia, padahal tiada kesakitan, kelelahan serta kepayahan yang dirasakan oleh seorang hamba melainkan Allah mengampuni dosanya. Surat ini kutujukan untuk hatiku dan hati saudara-saudaraku yang mulai mati, saat tiada getar saat asma Allah disebut, saat tiada sesal ketika kebaikan terlewatkan begitu saja, saat tiada dosa ketika menzolimi diri dan saudaranya. Akhirnya, surat ini kutujukan untuk jiwa yang masih memiliki cahaya meskipun sedikit, jangan biarkan cahaya itu padam, maka terus kumpulkan cahaya itu hingga ia dapat menerangi wajah-wajah di sekeliling, memberikan keindahan islam yang sesungguhnya, hanya dengan kekuatan dari-Nya.